Dana Desa Tak Cair! APDESI dan DPRD Ponorogo Gelar Dialog Intensif, Dorong Peninjauan PMK 81
![]() |
| Ketua APDESI Ponorogo, Eko Mulyadi, S.IP, M.Pd Dalam RDPU DPC Apdesi Ponorogo bersama DPRD |
Ponorogo— Suasana rapat di lantai tiga Gedung DPRD Ponorogo pada Senin siang (1/12) berlangsung cukup hidup. Para kepala desa, pimpinan DPRD, serta jajaran Komisi A berkumpul dalam sebuah pertemuan yang digagas oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Ponorogo. Dialog ini dipimpin Wakil Ketua DPRD, Anik Suharto, S.Sos, bersama dua wakil ketua lain, Pamudji dan Evi Dwitasari, dengan dukungan kehadiran Kepala dari Dinas PMD.
Pertemuan ini lahir dari surat resmi APDESI yang meminta penjelasan sekaligus menyalurkan keresahan para perangkat desa mengenai sejumlah regulasi baru dan kondisi keuangan daerah yang mempengaruhi pelaksanaan pembangunan di tingkat desa. Ketua APDESI Ponorogo, Eko Mulyadi, S.IP, M.Pd, hadir langsung membawa empat pokok aspirasi yang dianggap paling mendesak. Yakni dukungan terhadap pembangunan koperasi desa merah putih, desakan pembatalan PMK 81 Tahun 2025, adanya anomali PMK 81 tentang TKD, dan penggunaan Dana Desa menggunakan SPP Definitif sehingga sudah banyak yang ditalangi sebagai bentuk tanggung jawab dalam merealisasikan pembangunan dan rencana belanja desa, sedangkan apabila DD tahap II non earmark tidak disalurkan maka dana talangan tidak bisa terbayarkan.
Pencairan Dana Desa Tahap II Tertahan, Aktivitas Desa Menjadi Lambat
Banyak desa mulai menghadapi kendala karena sebagian kegiatan APBDes 2025 telah berjalan, namun Dana Desa Tahap II belum dapat dicairkan. Hal ini disampaikan oleh beberapa kepala desa, di antaranya Kades Badegan, Didik, serta Kades Jalen (Balong), Langen. Mereka melihat penerapan PMK 81/2025 sebagai aturan yang muncul terlalu tiba-tiba sehingga berdampak langsung pada administrasi dan alokasi belanja desa. Bahkan, mulai beredar kekhawatiran bahwa alokasi DD untuk tahun 2026 dapat berkurang hingga 50 persen.
Kepala Dinas PMD Ponorogo, Toni Sumarsono, menjelaskan kembali bahwa sejak awal penyusunan APBD 2025, desa telah diminta menyesuaikan program ketahanan pangan menjadi pembiayaan melalui BUMDes. Namun perubahan kebijakan dari pusat pada September 2025 membuat banyak desa gagal menerima DD tahap kedua.
“Ada sekitar Rp49,9 miliar yang tidak bisa ditransfer ke desa. Kami sudah mencoba berbagai langkah koordinasi, namun hingga hari ini belum ada jawaban resmi dari Kementerian Keuangan,” tutur Toni.
![]() |
| Para kepala desa, pimpinan DPRD, serta jajaran Komisi A berkumpul dalam sebuah pertemuan yang digagas oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Ponorogo. |
Suara Desa: Perlu Regulasi yang Konsisten
Beberapa kepala desa juga menyampaikan pandangannya secara langsung.
Sugeng, Kades Sedarat, menegaskan bahwa desa merupakan fondasi awal pembangunan negara. Ia mempertanyakan mengapa dana desa bisa tertahan dan meminta kajian komprehensif terhadap regulasi yang dianggap belum matang.
Di sisi lain, Makmur Khafid Rosyidi, Lurah Bareng dari Kecamatan Babadan mengangkat isu fiskal daerah menjelang tahun anggaran 2026. Ia berharap Alokasi Dana Desa dapat dipertahankan minimal 12 persen, mengingat desa masih membutuhkan kepastian ruang fiskal untuk menjalankan pelayanan dasar. Ia juga menyampaikan apresiasi terhadap perhatian pemerintah daerah kepada desa.
Situasi Fiskal Ponorogo: Ruang Fiskal Menyempit
DPRD dan OPD terkait turut menjelaskan kondisi keuangan daerah saat ini, yang berpengaruh terhadap kemampuan kabupaten mendukung pembangunan desa:
APBD 2025 mengalami defisit Rp261 miliar, sehingga penambahan ADD tidak memungkinkan.
Transfer Kas Daerah turun 12 persen, mempersempit kemampuan pembiayaan program pemerintah.
Terdapat pengurangan penanganan jalan poros desa sepanjang 400 km, sehingga APBD tidak lagi mampu menjangkau pembangunan infrastruktur desa seluas tahun sebelumnya.
Kebijakan 20 persen ketahanan pangan wajib dialihkan ke pembiayaan BUMDes, tanpa boleh digunakan untuk infrastruktur fisik.
APDESI meminta DPMD mengajukan rekomendasi kepada Kementerian Keuangan untuk menunda atau membatalkan PMK 81/2025 demi memberikan kepastian bagi desa.
Empat Sikap DPRD dari Forum RDPU Terdahulu
DPRD kembali menegaskan empat kesimpulan yang sebelumnya lahir dalam RDPU bersama desa:
1. Meminta penundaan penerapan PMK 81/2025, minimal hingga tahun anggaran 2026.
2. Mengembalikan seluruh kegiatan titipan OPD pada tahun 2026 ke masing-masing OPD.
3. Mengarahkan pembangunan infrastruktur 2026 pada pemerataan antardesa.
4. Menyatakan kesiapan mengirimkan dokumen resmi ke Menteri Keuangan sebagai tindak lanjut aspirasi desa.
DPRD Berkomitmen Mengawal Aspirasi Desa Hingga Tingkat Nasional
Menutup rangkaian audiensi, Wakil Ketua DPRD Ponorogo, Anik Suharto, menyampaikan bahwa dewan telah mencatat dan mengumpulkan seluruh masukan yang disampaikan.
“Kami menyiapkan laporan resmi yang segera disampaikan kepada Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, hingga Presiden Republik Indonesia. Ini langkah kami untuk memastikan bahwa suara desa tidak berhenti hanya di tingkat kabupaten,” ujarnya.
Dialog ini diharapkan menjadi titik awal penyelarasan kembali kebijakan pusat dan kondisi riil di lapangan, sehingga desa dapat menjalankan pembangunan tanpa hambatan regulasi maupun kendala fiskal.(Sw/Ny)

